Cinta Untuk Sang Baginda

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

     14 abad yang lalu, dunia ini merupakan dunia yang gelap, dunia yang dipenuhi oleh kebodohan, suatu zaman yang kita sebut dengan zaman Jahiliyyah, sunguh julukan yang amat sangat pedih sekali. Tanah kering nan tandus, konflik dan perang sudah bukan lagi hal yang aneh saat itu, apalagi kemusyrikan dan paganisme yang merajarela. Orang kaya menginjak yang lemah, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, semuanya hancur sehancur-hancurnya.
Sungguh fenomena yang demikian itu tak bisa terbayangkan oleh benak kita.

     Di tengah-tengah gejolak fenomena sosial yang panas tersebut, diutuslah seorang lelaki yang gagah nan rupawan. Bersenjatakan cinta dan ketulusan. Bermodalkan wahyu dan keyakinan. Ia datang menghancurkan dunia yang gelap gulita, membawa cahaya terang untuk alam dunia, meluruskan akidah, dan menjadi hakim yang nyata.

     23 Tahun ia berjuang, mengubah peradaban tandus menjadi pabrik yang memproduksi tokoh-tokoh penyebar kebaikan, diantaranya seperti hartawan berhati mulia Abu Bakar ash-Shiddiq, negarawan ulung seperti Umar bin Khatthab, diplomat muda nan cendikia seperti Mush'ad bin 'Umair, sampai panglima perang yang gagah perkasa seperti Khalid bin Walid.

     Bukan hal yang mudah untuk melakukan hal-hal semacam itu, ibarat meluruskan besi yang bengkok. Jangan bertanya tentang berapa banyak fitnah dan ujian yang telah ia hadapi untuk mencapai impiannya, sering kali ia sendiri membasuh kaki yang penuh darah sedari air matanya menetes membasahi pipi. Tetapi hal itu tidak tidak mengugurkannya untuk terus melangkah.

     Kesabaran dan cinta yang luar biasa, itulah senjata yang ia miliki. Bahkan saat malaikat hendak menjatuhkan gunung di atas kaum yang mecelakainya, ia melarang malaikat tersebut untuk berlaku demikian, sebab ia berharap bisa berkarib dengan mereka. Sungguh kesabaran dan cinta nya sangat terbukti. Tidak seperti kita yang dibenci sedikit langsung perang di media sosial, mecaci maki dengan kata-kata yang penuh dengan nafsu.

     Wahai Rasulallah, kecintaan mu terhadap umat sungguh sangat tulus nan mulia, saat engkau berkurban kambing, engkau berkata, "Ini untuk umatku", bahkan hingga ajal mu telah tiba, kau sebut lagi, "Umatku, umatku, umatku". Tak tahan hati ini membayangkan saat-saat kepergiannya, wajar saja seorang Umar bin Khatthab layaknya tak lepas percaya akan kata ajal, katika mendengar engkau wafat. Sebab engkaulah setulus-tulusnya pemimpin.

     Bahkan kepergian Engkau Yaa Rasulallah, membuat seluruh sahabat memendam luka rindu yang sangat mendalam dan duka yang terus terbayang, hingga suatu ketika seorang Budak bersuara merdu, Bilal Bin Rabah saat ia dimintai Adzan oleh Khalifah Abu Bakar As-Sidiq ia tak henti-henti untuk menolak permohonan Sang Kholifah pertama nabi itu.
Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”

     Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanku karena dirimu atau karena Allah?.” Abu Bakar Ra. hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan.

     Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria. Lama Bilal Ra tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal  jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.

     Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada Sang Kekasih Allah. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.” Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

     Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

     Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Bilal Ra, semenjak Nabi Saw wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan, sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi.

     Demikianlah kisah yang mengingatkan kita akan pentingnya sebuah sejarah yang patut untuk kita ambil hikmahnya. Akhlaq nan indah dan pejuang yang tak kenal lelah, begitulah Rasulullah yang sangat kental menjejak dihati umatnya. Rasulullah saw selalu berjuang keras untuk mengajak seluruh umat manusia berjalan kepada jalan yang takkan pernah berujung buntu, melainkan jalan yang indah berujung kebahagiaan yang hakiki.

Subhanallah, tak inginkah kita meneladani beliau yang tak sedikitpun orang yang mampu tuk melupakannya?
Mari kita renungkan,
Semoga kita semua dapat mengambil banyak pelajaran dan kita mampu menjadi umat Rasulallah yang Allah rindukan. Aamiin

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Comments

Popular posts from this blog

Makna Islam

Makna hidup

Mushab ibn 'Umair